Upah Hidup di Bawah Bayangan Raksasa: Transformasi Pengetahuan Kolektif Warga Girisuko di Perkebunan Sawit Riau

superuang Avatar
Upah Hidup di Bawah Bayangan Raksasa: Transformasi Pengetahuan Kolektif Warga Girisuko di Perkebunan Sawit Riau

Bagi masyarakat Girisuko di Gunungkidul, Yogyakarta, tanah dan pertanian telah lama menjadi sandaran hidup dan sumber pengetahuan kolektif. Namun, seiring berjalannya waktu, gelombang kebijakan dan desakan pasar—mulai dari kolonialisme, Revolusi Hijau Orde Baru, hingga program kehutanan jati—telah merombak tatanan pengetahuan ini, merenggut ikatan mereka dengan tanah sebagai lanskap kearifan.

Ketika harapan terhadap lahan pertanian semakin menipis, diperparah dengan rencana proyek besar seperti Taman Safari dan pembangunan industri pariwisata di pesisir selatan yang mengancam ruang hidup dan sumber mata air penting seperti Sendang Lemusur dan Sendang Belik, warga Girisuko dihadapkan pada pilihan sulit: mempertahankan yang tersisa, atau mencari harapan baru di tanah rantau.

Studi ini mendokumentasikan hasil dari pilihan tersebut. “Upah” dari migrasi yang mereka cari adalah kesejahteraan, namun realitas yang mereka temukan adalah pertukaran kompleks dari satu bentuk pengetahuan kolektif yang melemah dengan bentuk kehidupan yang baru.

Tukar Guling Pengetahuan: Dari Subsisten ke Birokratis

Dahulu, pengetahuan kolektif warga Girisuko didasarkan pada pertanian subsisten, di mana sistem sosial dan gotong royong masih kuat. Sumbangan dalam acara hajatan misalnya, cukup berupa hasil bumi. Namun, masuknya tanaman monokultur jati Dinas Kehutanan mempersempit lahan dan meningkatkan modal pertanian, mendorong perubahan sosial menjadi lebih transaksional.

Migrasi, yang awalnya digulirkan melalui program transmigrasi pemerintah ke Sumatera (Riau) dengan iming-iming perolehan lahan garapan dan rumah, kini berlanjut ke generasi berikutnya sebagai buruh di perkebunan sawit swasta seperti PT. Panca Agro Lestari (PT. PAL), anak perusahaan Duta Palma Group yang bermasalah secara hukum. Upah yang didapatkan generasi ini bukanlah lahan, melainkan gaji bulanan tetap dan tempat tinggal sementara (mess).

Di Riau, orang-orang Girisuko memperoleh praktik pengetahuan baru tentang perkebunan sawit. Namun, “upah” finansial ini harus dibayar mahal dengan hidup yang berada di bawah pagar besi tuntutan perusahaan.

Upah Kerja: Target Tinggi dan Fasilitas Terbatas

PT. PAL beroperasi dengan sistem kerja yang sangat birokratis dan menuntut. Pekerja harus mencapai target Harian Kerja (HK) tinggi untuk mendapatkan gaji dan premi (bonus). Pemanen, misalnya, ditargetkan 300 Tandan Buah Segar (TBS) per hari. Kurangnya karyawan bahkan memaksa anak-anak di bawah umur dilibatkan untuk memenuhi target harian. 

Ditambah lagi kehidupan di mess (komplek perumahan pekerja Divisi 3) serba terbatas.  Perusahaan tidak menyediakan transportasi ke kebun (ancak), yang memaksa pekerja memodifikasi motor sendiri. Peralatan kerja seperti mata dodos, egrek, dan angkong, kerap dibeli sendiri karena kualitas yang disediakan perusahaan dianggap kurang layak. Tentu saja ini menjadi tambahan pengeluaran bagi para pekerja.

Keterbatasan bukan hanya pada peralatan penunjang kerja. Pasokan listrik dari genset hanya menyala 6 jam per hari (pukul 18.00–20.00 dan 04.00–06.00 pagi). pembatasan ini seolah memaksa hidup warga hanya untuk bekerja. Begitupun dengan kebutuhan sanitasi dan air konsumsi. Kebutuhan dasar air konsumsi harus dibeli dari pemukiman kampung (10.000–12.000 rupiah/galon), sementara air sanitasi diperoleh dari pengeboran swadaya, menghasilkan air gambut berbau karat. 

Bayangan akan keselamatan bukan hanya saat berada di lapangan. Bahkan kondisi rumah di mess mudah retak dan miring karena dibangun di atas tanah gambut, minim perbaikan dan perawatan dari pihak perusahaan. Terpaksa para  pekerja harus memperbaikinya sendiri.

Untuk mendapatkan akses sosial dan hiburan para pekerja dibatasi dengan jam keluar-masuk portal hingga pukul 22.00 malam. Medan yang perlu dilalui juga tak mudah. Jalanan di perkebunan nampak bergelombang, licin, dan berdebu saat kemarau dan berlumpur disaat musim hujan. Sulitnya akses internet turut memperparah komunikasi dan terjalinnya relasi sosial. Maka, wajar jika ekspresi budaya hampir tak terlihat karena harus mengikuti sistem kerja perusahaan. 

Di sisi lain, fasilitas mess untuk staf kantor besar PT. PAL (manajer, asisten kebun, dll.) jauh lebih tertata rapi, bersih, kokoh, dan menikmati penerangan listrik 24 jam penuh. Kontrasnya kondisi pekerja lapangan dengan para elit perusaaan menunjukkan adanya ketimpangan yang tajam.

Upah Sosial dan Budaya: Kebebasan di Tengah Keterpaksaan

Meskipun hidup diatur ketat, perpindahan ini membawa “upah” sosial dan pengetahuan baru. Riau adalah rumah bagi berbagai suku (Melayu, Sunda, Minang, Banjar, Nias, Batak, Jawa, Bugis), menjadi pengalaman dan pengetahuan baru bagi warga Girisuko yang sebelumnya hanya berinteraksi dengan sesama suku Jawa.

Salah satu penemuan penting dalam penelitian ini adalah transformasi peran perempuan. Perempuan Girisuko yang merantau, seperti Pardinem dan Dwi Astuti, yang sebelumnya hanya ibu rumah tangga di Girisuko, kini bekerja di kebun sawit dan tidak lagi bergantung pada suami atau orang tua.

Mereka mendapatkan kebebasan untuk mengekspresikan diri mereka, yang tidak mereka dapatkan di Gunungkidul yang terikat kultural Jawa. Misalnya, saat waktu luang atau hari libur, mereka sering berkumpul dan berkaraoke bersama dengan perempuan dari suku lain.

Selain itu, beberapa pekerja juga menciptakan penghasilan tambahan dan pengetahuan ekonomi baru, seperti membuka warung kelontong (milik Narsun), jasa katering, tambal ban (milik Afrudin), menjual arang, hingga menukar jatah beras perusahaan yang kurang layak konsumsi dengan beras yang lebih baik. Beberapa pekerja yang dianggap berhasil bahkan telah membeli lahan sawit dan rumah sendiri di Desa Belimbing, yang sebagian besar ditinggali oleh orang Gunungkidul.

Pengetahuan yang Bertransformasi

Upah sejati dari migrasi Girisuko bukanlah hanya gaji bulanan, melainkan transformasi pengetahuan kolektif itu sendiri. Mereka telah menukar kearifan subsisten yang terancam punah di Gunungkidul dengan pengetahuan baru tentang struktur sosial yang timpang di perkebunan sawit dan bagaimana cara bertahan hidup di tengah modernitas ekstraktif.

Kisah mereka menunjukkan bahwa terlepas dari keterbatasan dan kondisi lingkungan yang terancam (tanah gambut, limbah pabrik sawit, suhu panas), di bawah tekanan “raksasa” korporasi, muncul pula ruang negosiasi, solidaritas antar-suku, dan agensi baru. Terutama bagi perempuan, yang menjadi modal penting untuk terus mengarungi kehidupan di tanah rantau. Penelitian ini berhasil mendokumentasikan arsip pengetahuan yang hilang, yang berubah, dan yang baru terbentuk di tengah ketidakpastian.

*Link film dokumenter “Derana di Rantau”: https://youtu.be/KZt66J26DtU?si=zc6APZh6e7jyPgTR

Penulis : Viky Arthiando dan Toto Sudiarjo