Lokakarya Jurnalis
20-22.09.2024
Lokakarya jurnalis dengan tema “Dinamika Ruang Hidup di Kawasan Karst” merupakan rangkaian kegiatan yang ditujukan untuk para pegiat media baik nasional maupun lokal dalam merespon kondisi ruang hidup masyarakat karst di Gunungkidul. Di tengah ekspansi pengembangan wilayah pesisir selatan Yogyakarta sebagai pintu gerbang pertumbuhan ekonomi berbasis pariwisata, merambah ke kawasan Kabupaten Gunungkidul sebagai Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) yang mencakup Wonogiri dan Pacitan. Tujuan lokakarya ini antara lain adalah untuk merekam dan merumuskan persoalan dari perspektif warga, menyediakan bahan dan narasi yang dapat dimuat di media arus utama nasional, serta mempererat hubungan antara warga dan jaringan jurnalis yang terlibat.
Dalam lokakarya ini, para peserta selama dua hari pertama dibekali materi dari berbagai narasumber ahli untuk mendalami konteks ekologi mulai dari ekosistem karst, flora dan fauna, hingga corak hidup masyarakatnya dilihat dari segi ekonomi, sosial dan budaya. Pemahaman ini juga dibarengi dengan konteks regulasi soal karst baik dari pemerintah lokal Gunungkidul, provinsi Yogyakarta, hingga nasional menyangkut status KBAK. Selain itu, peserta juga dibekali pemahaman jurnalisme sensitif konflik dengan pendekatan slow journalism sebagai respon atas dominasi media arus utama kiwari yang banyak mengandalkan clickbait. Terakhir para peserta diajak ke lapangan dan dibagi dalam tiga kelompok yaitu: pantai Gesing, pantai Watu Kodok dan pantai Siung untuk melihat, mendengar, dan bertanya langsung atas kondisi kehidupan masyarakat karst di Gunungkidul. Setelah itu semua peserta berkumpul di wilayah Rongkop, salah satu warga korban JJLS sekaligus merumuskan temuan lapangan dan tindak lanjut.

Selama proses lokakarya berlangsung dan kunjungan lapangan di Gunungkidul, ada beberapa temuan kunci sebagai basis untuk mendalami persoalan karst Gunungsewu. Pertama, sebagian besar peserta belum sepenuhnya memahami persoalan karst secara utuh, sehingga lokakarya ini menjadi penting. Kedua, viralnya kasus Raffi Ahmad di pantai Krakal menjadi pemantik peserta lokakarya untuk melakukan liputan mendalam di wilayah karst dalam melihat persoalan yang lebih besar. Ketiga, peserta melihat, mendengar dan berdialog langsung dengan warga dalam memandang persoalan karst yang lebih kompleks seperti menyusutnya air telaga di Trowono maupun tempat lain yang merubah relasi sosial, budaya dan ekologi, pembangunan pelabuhan Gesing dan wisata eksklusif yang menyingkirkan nelayan dan warga setempat, masifnya pariwisata di pantai Watu Kodok yang merubah relasi sosial dan pertumbuhan ekonomi, ekspansi habitat kera ekor panjang akibat ramainya wisata di wilayah pantai Siung menjadi ‘hama baru’ bagi pertanian, hingga pembukaan JJLS yang merobek pegunungan sewu yang mengeksklusi warga lokal dan terganggunya fungsi metabolik ekosistem karst.
Dari berbagai temuan tersebut, rekomendasi yang bisa ditawarkan sebagai tindak lanjut pertama, melakukan pendalaman reportase persoalan karst di Gunung Sewu secara khusus di Gunung Kidul, maupun di Wonogiri hingga Pacitan secara berkelanjutan. Kedua, memberikan pelatihan bersama warga terdampak untuk mengelola media komunitas maupun sebagai mitra strategis bersama jurnalis maupun lembaga yang turut mengadvokasi isu karst Gunung Sewu. Ketiga, memberikan rekomendasi pada pemangku kepentingan terkait Peraturan Daerah (PERDA) dan Peraturan Pemerintah (PP) Karst sebagai wilayah konservasi tinggi serta mendukung jasa lingkungan berbasis komunitas lokal. Keempat, pengakuan dan pengarusutamaan soal pertanian di wilayah karst sebagai basis ekonomi lokal serta budaya yang masih terawat secara turun-temurun, menjadi bagian dari mitigasi iklim dalam merawat fungsi ekologis air sungai bawah tanah secara berkelanjutan. Keenam, mendorong adanya Raperda pertambangan perlindungan kawasan karst dari segala bentuk ekstraktivisme maupun aktivitas lain yang merusak.

Ekosistem wilayah karst Gunung Sewu yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai taman bumi (geopark) warisan cagar alam konservasi tinggi dalam menyimpan karbon alami maupun cadangan air sungai bawah tanah, memiliki signifikansi yang cukup penting untuk terus dijaga kelestariannya. Pemerintah kemudian menetapkan Gunung Sewu menjadi Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK). Selain memiliki fungsi ekologis, karst Gunung Sewu menjadi tumpuan ruang hidup masyarakat sekitar sebagai basis pertanian tadah hujan secara turun-temurun. Pertanian palawija berupa jagung, singkong dan kacang-kacangan cukup mendominasi di wilayah karst, di samping ada sebagian pertanian padi dan buah-buahan. Salah satu makanan lokal khas wilayah karst adalah tiwul yang terbuat dari singkong, termasuk di Gunungkidul.
Di sisi lain, tradisi rasulan yang terus ada hingga saat ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kultur masyarakat karst Gunung Sewu untuk dirayakan setiap tahunnya. Momen ini menjadi semangat kolektif seluruh masyarakat karst Gunung Sewu dalam merawat hasil bumi yang diterima selama ini. Sementara di wilayah pesisir, tradisi labuhan juga terus dirawat sebagai bentuk rasa syukur atas hasil laut yang melimpah. Semua tradisi ini sudah menjadi laku yang sudah melekat dalam masyarakat karst sebagai satu kesatuan metabolik hubungan selaras antara manusia dan alam.


Namun demikian, fungsi ekosistem karst Gunung Sewu mulai terganggu dengan adanya berbagai pembangunan yang ada, salah satunya pengembangan pariwisata, infrastruktur hingga industri di Gunungkidul. Hal ini tidak terlepas dengan adanya pengurangan luasan status KBAK oleh pemerintah setempat untuk kepentingan pariwisata. Munculnya pertambangan batuan karst di wilayah Ponjong, maupun di sisi utara seperti wilayah Gedangsari untuk bahan material tol Jogja-Solo, menjadi ancaman serius bagi kelestarian ekosistem karst maupun ruang hidup masyarakat Gunung Kidul itu sendiri. Begitu juga dengan hadirnya JJLS di sepanjang pantai selatan Jawa, yang membelah gugusan karst demi ambisi Proyek Strategis Nasional (PSN), banyak memutus aliran sungai bawah tanah sekaligus merombak pola pertanian warga. Krisis ini juga diperparah dengan masifnya pariwisata di sepanjang pesisir Gunungkidul, alih-alih menumbuhkan ekonomi lokal, justru memunculkan persaingan antar warga maupun investor besar serta mengikis profesi petani menjadi pengelola wisata massal. Di sisi lain, penguasaan wilayah hutan untuk komoditas tanaman energi biomassa sebagai energi baru terbarukan, memunculkan polemik baru yang tak kalah krusialnya sebagai solusi energi terbarukan saat ini.
Dari beragam persoalan yang muncul terhadap keberlangsungan karst di Gunung Sewu, peran media sebagai pilar demokrasi dan edukasi sangatlah dibutuhkan dalam mengawal suara warga yang terpinggirkan. Terlebih pendekatan jurnalisme lingkungan yang sensitif konflik dan mendalam, dengan mengedepankan suara komunitas terdampak dari adanya pembangunan yang destruktif. Bukan hanya sekedar mengejar clickbait dan menghadirkan suara-suara elit semata yang belakangan semakin mendominasi. Sehingga peran jurnalisme yang berpihak pada suara warga dan kebenaran, memiliki posisi strategis dalam mengangkat persoalan karst di sepanjang kawasan Gunung Sewu di tengah senjakala arus media utama yang mulai kehilangan keberpihakan pada masyarakat dan hanya mengejar orientasi pasar semata.
Penulis: Toto Sudiarjo

