Warga Kelurahan Purwodadi, Gunungkidul, melakukan Ritual Ngalangi di Pantai Nglambor pada (12/5). Ritual ini dilakukan kala awal musim kemarau tiba dan padi gogo telah kering menguning. Ritual ini juga baru dimulai ketika penanggalan Jawa menunjukkan Senin Wage dalam Mangsa Saddha.
Ritual yang menjadi bagian dari Tradisi Rasulan atau bersih-bersih desa pasca panen ini diikuti sembilan (9) dusun di Purwodadi; Dusun Winangun, Dusun Wuluh, Dusun Cakbohol, Dusun Ngande-Ande, Dusun Duwet, Dusun Kotekan, Dusun Ngandong, Dusun Cepogo, dan Dusun Pringsanggar.
Rasulan dilaksanakan selama tiga hari yang diisi berbagai rangkaian acara: Ritual Ngalangi dan Tayuban pada malam hari (12/5), pementasan ketoprak pada (13/5) Selasa Kliwon, serta diakhiri kirab gunungan dari Lapangan Dakbongsari menuju Balai Kelurahan Purwodadi pada (14/5) Rabu Legi.
Warga Purwodadi mengawali Ritual Ngalangi dengan bersih-bersih Gunung Batur. Mereka juga mengambil akar-akar pohon preh selama proses pembersihan di Gunung Batur. Setelah selesai membersihkan Gunung Batur dan akar-akar pohon preh terkumpul, warga akan menumbuk akar-akar pohon preh hingga mengeluarkan getah.
Ketika akar-akar pohon preh telah mengeluarkan getah, warga melanjutkan ritual ke pantai. Di sana warga menjadikan akar-akar pohon preh yang telah keluar getah menjadi gawar–rangkaian mata pancing yang diikat menggunakan tali–yang ditebar di sepanjang pantai saat air mulai surut.
Bagi warga, getah akar pohon preh hanya memabukkan ikan tanpa membunuhnya. Dengan begitu, ikan yang terjerat di gawar dapat dilepaskan kembali ke laut jika jumlahnya berlebihan untuk disantap sebagai lauk bersama dalam Ritual Tayuban atau selamatan malam harinya.
Selain digunakan sebagai ritual, beberapa warga Purwodadi masih menggunakan penanggalan Jawa atau biasa disebut Pranata Mangsa dalam kesehariannya. Mereka menggunakannya untuk menghitung waktu kapan mulai menanam, memanen, mendirikan rumah, membuat kandang hewan, hingga waktu yang cocok sesuai kondisi lingkungan untuk mencari ikan di laut.
Laku Hidup Warga Merawat Bumi
Penerapan Pranata Mangsa bervariasi antar wilayah karena setiap wilayah memiliki kondisi lingkungan yang unik. Hal ini menegaskan bahwa Pranata Mangsa adalah ilmu yang dikembangkan masyarakat Jawa sebagai respons adaptif terhadap lingkungan tempat mereka tinggal.

Ritual Ngalangi merupakan tradisi yang berakar pada kesadaran kolektif warga bahwa manusia berasal dari alam dan bergantung sepenuhnya pada alam. Dengan berbentuk sedekah bumi, artinya memohon kepada yang Maha Kuasa untuk keseimbangan ekosistem sekitar berupa hasil pertanian dan perikanan yang baik, perlindungan dari malapetaka, dan rezeki yang cukup untuk menghadapi masa tanam berikutnya.
Namun, Ritual Ngalangi tidak hanya dipandang sebagai ucapan syukur atas alam saja, melainkan sebagai bentuk laku hidup warga merawat alam di sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari diterapkannya Pranata Mangsa sebagai kearifan lokal dalam seluruh rangkaian ritual. Mulai dari bersih gunung batur, panen, hingga Ritual Ngalangi.
Penerapan Pranata Mangsa sendiri sangat ketat berdasarkan siklus alam. Dilihat dari ditetapkannya hari ritual Ngalangi pada Senin Wage dan musim panen pada musim keempat.
“Ketika petani atau pamong desa lupa Pranata Mangsa, bisa salah musim menanam. Misalnya musim hujan tiba tapi tekstur tanah belum siap atau menyemai benih terlalu dini sehingga hasilnya kurang baik. Dengan pemahaman Pranata Mangsa, petani tahu bahwa musim keempat adalah waktu yang tepat menanam”, ujar Saido, pegiat Pranata Mangsa di Purwodadi.
Warga Purwodadi hidup di Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK). Mereka bertani dengan cara sistem tadah hujan. Sistem ini mengandalkan ketersedian air hujan sebagai pengairan tanaman untuk mendapatkan air.
Jika telah masuk musim kemarau, ketersedian air menepis untuk pertanian karena hujan belum datang. Siklus alam ini masuk dalam perhitungan Pranata Mangsa untuk membaca dengan baik tanda alam sekitar sebelum menanam dan panen.
Proses pertanian di atas menunjukkan bahwa warga telah memahami kondisi lingkungannya sejak turun-temurun. Pemahaman mengenai kesadaran ekologis ini memperlihatkan bahwa alam seharusnya tidak dieksploitasi, salah satunya dengan cara tidak memaksa untuk panen terus-menerus.
Selain itu, penggunaan varietas padi lokal selama ritual juga dapat dipandang sebagai upaya menjaga keanekaragaman bibit lokal. Hal ini terbukti dari varietas padi yang dipanen dan digunakan dalam gunungan pada kirab budaya, yaitu varietas lokal padi gogo.
Warga juga menunjukkan kearifan dalam teknik penyepuhan ikan. Mereka hanya mengambil hasil tangkapan laut secukupnya dengan menggunakan akar pohon preh yang membuat ikan mabuk, tetapi tidak membunuhnya. Ikan-ikan yang terkena dampak getah akar pohon preh dan dikembalikan ke laut, akan pulih kembali.
Mengambil bagian dari alam secukupnya, mulai dari panen hingga menjaring ikan adalah bagian dari filosofi merawat bumi melalui Pranata Mangsa. Seperti dalam perhitungan tahun yang terdiri dari delapan siklus, yaitu Alif, Ehe, Jim Awal, Je, Dal, Be, Wawu, Jim Akhir. Dari delapan siklus tersebut, tahun yang berawalan huruf “J” adalah tahun yang menjadi bagian untuk makhluk lain selain manusia untuk menikmati alam.
“Dari delapan (tahun) itu porsinya (manusia) banyak (sebanyak) lima kali. Makhluk lain tiga kali. Kalau kita yang menyadari itu ya sudah biarkan. Terus kita berdoa. Karena kita yang menanam, kita yang merawat, kita minta bagian dari mereka. Ndak usah diracun. Tikus ya sudah biarkan. Kita kelilingi kebun kita, sawah kita, ladang kita (dengan apa yang kita tanam), kalau (binatang) mau makan ya silahkan makan, kalau sudah kenyang ya cukup. Insya Allah, dengan kekuasaan Tuhan, dia (binatang) juga makan, cuma kita juga masih kebagian. Tidak akan habis, tidak mungkin.” ucap Bambang, petani yang mengandalkan Pranata Mangsa.
Penulis: Skolastika Andika Paramita Maheswari
Editor: Vincentius Dandy Ariputra Ginola