Nyanyi Sunyi Telaga dalam Rezim Pembangunan

superuang Avatar
Nyanyi Sunyi Telaga dalam Rezim Pembangunan

Bambang (65) masih ingat betapa riuhnya Telaga Nangun di masa kecilnya—tempat ia belajar berenang, orang-orang mencuci pakaian, dan penggembala yang memandikan sapinya. Kini, telaga itu hanya seonggok tanah kering berbentuk ‘L’.

Para telaga di Purwodadi mulai terdengar parau dan lirih sejak tahun 1980-an hingga 1990-an yang perlahan memudar dan mati secara bersamaan. Menurut penuturan Bambang, kematian telaga beriringan dengan masifnya tekanan pemerintah zaman Orde Baru yang memaksa petani mengganti pupuk kandang yang biasa dipakai warga menjadi pupuk urea.

“Mulai awal tahun 70-an, ada Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Petani dipaksa menggunakan pupuk buatan karena dianggap pupuk kandang tak signifikan tingkatkan hasil pertanian. Pemerintah menyediakan pupuk bersubsidi. Tanaman lokal diganti subsidi tanaman—padi varietas IR5 dan IR8 yang diimpor. Menurut pemerintah waktu itu, produksinya tanaman lokal tinggi kurang. Makanya diberikan juga bibit subsidi dan pupuk urea. Tapi tanah jadi tandus, telaga kering. Mungkin salah satu sebab ya pupuk itu” Ujar Bambang.

Kisah seorang warga berusia lanjut di Desa Purwodadi, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul ini menggambarkan hilangnya telaga sebagai sumber kehidupan warga. Seperti Telaga Kajor—tempat spiritual warga Padukuhan Ngande-Ande dan Wuluh. Setiap Muharram, telaga ini menjadi lokasi ritual pemasangan gawar: tali dari akar pohon preh sebagai penolak bala dan penghalaumakhluk jahat.

Telaga Brunyah pun tak lagi menyimpan nyanyian bagi warga Padukuhan Cak Bohol dan Pring Sanggar. Dulu, telaga sedalam 3-4 meter ini menjadi sumber air minum alami, menyaring air hujan menjadi jernih. Sementara di Telaga Nangun, riuh tawa anak-anak belajar berenang, penggembala memandikan ternak, serta orang-orang mencuci dan bercakap-cakap menghidupkan Padukuhan Winangun, Cepogo, dan Luweng Ombo.

Kini, telaga ketiga itu—bersama duabelas telaga lainnya—telah mati. Kematiannya berawal dari era Orde Baru, melalui program imperialisme bernama Revolusi Hijau.

Program Imperialisme Bernama Revolusi Hijau

Sejak awal tahun 1950-an hingga 1980-an, gelombang Revolusi Hijau menggema di berbagai belahan dunia. Indonesia salah satunya, yang saat itu berada di bawah sepatu lars Orde Baru, meluncurkan program swasembada beras pada 1970-an hingga 1980-an. Tujuannya agar Indonesia tidak lagi mengimpor beras dan memuluskan pemodal luar negeri dalam pengadaan bibit impor, irigasi, pupuk kimia, dan mesin-mesin untuk pertanian.

Akibatnya, petani di Kecamatan Purwodadi terpaksa meninggalkan bibit padi lokal dan pupuk kandang. Sebaliknya, mereka memaksakan menggunakan bibit padi varietas IR5 dan IR8 yang dikembangkan Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI) di Los Baños, Filipina. Lembaga ini mendanai Ford Foundation dan Rockefeller Foundation untuk melakukan penelitian dan pengembangan pada negara dunia ketiga. Padi varietas IR5 dan IR8 memang dapat panen sebanyak tiga kali dalam setahun, tetapi rentan terhadap hama. Untuk itulah, IRRI memberikan rekomendasi agar pupuk urea digunakan beriringan dengan penanaman bibit padi varietas IR5 dan IR8.

Namun dibalik kesuburan semu itu, bencana ekologis mulai mengintai warga. Pupuk urea yang dipaksa masuk ke lahan Karst Gunungkidul ternyata tidak sepenuhnya dapat diserap tanaman. Setiap hujan, sisa kimianya hanyut ke telaga. Residu kimia tersebut yang akhirnya mengubah struktur tanah terutama pada lapisan kedap air.

Bintang Hanggono | Telaga Brunyah yang dikeruk dan ditutup karena pembangunan Jalan Jalur Lingkar Selatan (18/07/2025)

“Kalau tumbuhan alami, maksudnya endemik di sana, itu secara alami berproses, ikut mengurai, dan terjadinya fenomena endokarst, baik itu tanaman yang besar, ataupun semak dan sebagainya. Ketika ada perubahan fungsi, menjadi lahan pertanian dan yang dipakai pupuk-pupuk organik, seperti pupuk kandang, kompos, dan sebagainya. Pupuk organik dapat bercampur dengan baik dengan kondisi struktur dan tekstur tanah yang ada di sana. Namun, ketika ada intervensi ‘kimia’, dia akan terurai berbeda. Jadi yang biasanya dia menjadi satu, padat, dan (tanahnya), ketika ada unsur kimia lain, dia menjadi gembur. Akibat akar-akar tanaman bisa menembus lapisan impermeable. Itu bisa menyebabkan lapisan impermeable bocor, kemudian airnya turun (menghilang). tutur Nandra, seorang Ahli Geologi dari UPN Yogyakarta.

Berusaha menebus dosa atas kerusakan telaga, tahun 1980-an, pemerintah melalui Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Gunungkidul berupaya menyelamatkan telaga Nangun dengan membangun bantaran dan sekat yang sekitarnya. Upaya itu gagal dan membuat telaga semakin kering. Hal tersebut disebabkan oleh kesalahan langkah yang diambil oleh pemerintah setempat karena kurangnya pemahaman mengenai struktur geologi dari sebuah telaga. Langkah keliru itu disinyalir karena pengerukan tanah yang berada di dasar telaga.

Nandra menegaskan, pembangunan di kawasan karst harus diperhatikan sedemikian rupa. Karena ketika mau melakukan revitalisasi, bahkan menata ulang telaga, terdapat lapisan kedap air, yang menjaga udara di sana tetap utuh. Sedangkan, kalau telaga sampai bocor, apalagi karena ada pengerukan, airnya tetap akan hilang walaupun dibangun bantaran yang mengelilingi telaga dengan tujuan agar debit air tetap terjaga.

Nasib tragis lebih dirasakan Telaga Kajor dan Brunyah. Keduanya sudah tidak dapat dihidupkan kembali karena ditimbun batu-batu dari peledakan bukit-bukit karst untuk pembangunan Jalur Lintas Selatan (JJLS).

Telaga dan Jiwanya

Gunungkidul termasuk Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gunung Sewu–”seribu bukit” yang tersusun dari batuan setebal 400-an meter. Erosi dan pelapukan membentuk tanah terra rossa. Warga menjadikan tanah ini sebagai lahan pertanian, sebab terra rossa termasuk tanah yang subur, terutama jika berada di tengah-tengah bukit. Hal ini yang menjadi alasan warga Gunung Kidul tetap bisa bertani meski didominasi wilayah batu yang bertanah.

Menurut Nandra, kawasan karst Gunung Sewu juga dapat membentuk telaga (lokva) karena lapisan kedap air (lendut)—menghasilkan tersebarnya vegetasi dan erosi tanah yang terjadi bertahun-tahun—yang berfungsi sebagai lapisan yang menjaga limpasan hujan udara. “KBAK Gunung Sewu ibarat spons raksasa,” katanya. Air hujan meresap melalui ponor (lubang vertikal), mengalir ke sungai bawah tanah dalam pola pengaliran multibasinal.

Rongga batuan karst membuat air mudah hilang ke bawah tanah. Ini membuat air akan mudah sekali hilang ditelan sungai-sungai bawah tanah dan akan sulit sekali untuk mengaksesnya. Oleh karena itu, sangatlah penting keberadaan danau karst atau telaga di Gunungkidul.

Dosa Negara yang (justru) Ditebus Warganya

Kematian telaga-telaga Purwodadi meninggalkan luka ekologis dan sosial yang mendalam. Hilangnya lapisan kedap air akibat pupuk kimia dan proyek JJLS memutus siklus air karst. Hujan air langsung tersedot ke ponor, mempercepat kekeringan di permukaan dan mengeringkan mata air yang bergantung pada cadangan telaga.

Dahulu warga mendapatkan air secara cuma-cuma dengan mengandalkan telaga. Namun kini warga terpaksa bergantung pada PDAM dan membayar air setiap bulannya. Seperti keluarga Bambang, mereka harus membayar sekitar Rp50.000 untuk 10 kubik udara per bulan. Jika lebih dari itu, Bambang akan dikenakan biaya tambahan sekitar Rp10.000 per kubiknya. Sedangkan untuk ke mata air terdekat, Bambang harus memikul udara dengan jarak sekitar 2 kilometer. Dengan usia yang sudah renta, jelas tak bisa dilakukannya. Di sisi lain, jika mengandalkan Penampungan Air Hujan (PAH) yang berkapasitas rata-rata 3.000-5.000 liter, tidaklah cukup bagi keluarga yang beranggotakan 4-5 orang ke atas.

Padahal, untuk memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga (konsumsi, sanitasi, dan kesehatan), setiap orang membutuhkan setidaknya 20 liter air bersih per hari. Namun berdasarkan total volume Penampungan Air Hujan (PAH) yang disebutkan Bambang, yaitu 5.000 liter untuk satu rumah tangga berisi lima orang, ketersediaan air hanya sekitar 1.000 liter per orang. Volume ini sebenarnya mencapai kecukupan kebutuhan selama enam bulan, dengan asumsi bahwa PAH terisi penuh pada awal musim hujan dan pola hujan normal sesuai dua musim di Indonesia. Kenyataannya, krisis iklim menyebabkan curah hujan menjadi tidak terprediksi dan tidak merata, sehingga pengisian ulang PAH selama musim hujan pun menjadi tidak pasti. Akibatnya, ketersediaan 1.000 liter per orang untuk enam bulan itu dijamin.

Hilangnya telaga juga memutus ruang interaksi sosial. Mulai dari anak-anak yang kehilangan “laboratorium alam” untuk belajar renang dan mengenal ekosistem di telaga: ikan mujair dan lele lokal serta berbagai tumbuhan resan.

Bintang Hanggono | Bambang sedang menceritakan kenangannya atas Telaga Brunyah yang kini telah menjadi jalan raya di belakangnya (18/07/2025)

Di tengah negara yang eksploitatif dan destruktif, Bambang memiliki gagasan untuk melakukan revitalisasi mandiri Telaga Nangun. Ia berangan-angan menanam pohon resan di sekitar telaga untuk mengikat tanah dan memulihkan kelembaban. Strateginya dimulai saat musim hujan, di mana air tergenang. Ia akan menebar benih ikan yang siap dipanen ke dalam akuarium, lalu mengundang warga grubyukan (menangkap ikan dengan tangan).

“Dengan diinjak-injak ratusan orang, lumpur itu memadat seperti kebo gupak (kubangan kerbau),” katanya, Merujuk pada memori ilmiah tradisional tentang lumpur padat yang mampu menyimpan udara berbulan-bulan.

Angan-angan Bambang sejalan dengan penjelasan Nandra: Pemulihan dapat diawali dengan pemetaan titik-titik kebocoran udara atau lubang ponor di dasar telaga yang menyebabkan udara tersedot ke bawah tanah. Titik ini harus ditutup sementara untuk menahan limpasan udara saat hujan, memungkinkan terjadinya kembali terbentuknya udara. Cara ini hanya bersifat sementara dan belum menyelesaikan masalah lapisan impermeable yang rusak. Untuk pemulihannya dapat dilakukan revegetasi menggunakan tanaman endemik yang dicabut tunjang, seperti tanaman resan di sekeliling telaga. Hal ini dilakukan untuk mengurangi erosi dan mengikat udara. Tanaman ini juga membantu pembentukan lapisan tanah halus yang terbawa udara ke dasar telaga, memperbaiki lapisan impermeable secara alami.

“Yang tak kalah pentingnya adalah konservasi pengetahuan lokal tentang tata kelola telaga. Pengetahuan mengenai cara merevitalisasi telaga ini harus didokumentasikan dan transfer ke generasi berikutnya agar upaya pemulihan menjadi berkelanjutan. Karena pemulihan ekosistem karst membutuhkan restorasi menyeluruh dan waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Mengingat proses yang sangat panjang dan melampaui usia satu generasi, maka penting untuk dilakukan regenerasi pengetahuan tersebut” Ujar Nandra.

Upaya yang dilakukan Bambang tidak dapat dilihat sekadar memulihkan ekosistem belaka, tetapi potret mencerminkan negara–dari rezim Soeharto hingga Prabowo–yang gagal menjaga Gunungkidul yang masuk dalam KBAK Gunung Sewu. Di balik jargon “pembangunan”, negara telah mengubah KBAK Gunung Sewu dari benteng ekologis menjadi ladang komoditas: batu kapur dikeruk, telaga diuruk menjadi aspal JJLS. Ironisnya, sementara negara yang dikuasai konglomerat ini mengambil nilai ekonomi setiap jengkal tanah, warga dipaksa menebus dosa ekologis dengan keringatnya sendiri.

Penulis : Skolastika Andika Paramita Maheswari

Editor: Vincentius Dandy Ariputra Ginola