Penulis: Skolastika Andika Paramita Maheswari
Lingkar Keadilan Ruang (Ruang) mengadakan pertemuan membahas “Kerja Bersama Menubuhkan Warisan Budaya Gunungkidul” di Desa Tepus, Purwodadi, pada Kamis (22/05) sore. Pertemuan ini bertujuan membincangkan persoalan struktural dan ancaman terhadap kehidupan masyarakat serta lingkungan di Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gunungkidul.
Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan warga dari Pantai Watukodok, Trowono Karangasem, Tepus Purwodadi, serta sejumlah komunitas dan lembaga seperti ABDW, Sanggar Ori, Komunitas Resan, dan Social Research Center (SOREC) UGM.
Banyak warga yang mempersoalkan ancaman eksploitasi tambang, pembangunan infrastruktur yang memicu krisis air, dan penggerusan kearifan lokal oleh modal kapital.
Salah satu dampak yang disoroti adalah pembangunan Jalan Jalur Lintas Selatan (JJLS) yang dinilai menggerus Pranata Mangsa, sebuah pedoman hidup masyarakat Jawa, terutama KBAK yang didasarkan pada siklus alam. Perubahan lanskap lingkungan akibat pembangunan masif mengancam perhitungan kalender Jawa ini. Selain itu, regenerasi pengetahuan lokal juga terkendala karena banyak generasi muda memilih mencari pekerjaan di perkotaan daripada menjadi petani.
Abe, peneliti SOREC dan dosen sosiologi UGM yang berasal dari Gunungkidul, menegaskan adanya degradasi lingkungan akibat pembangunan infrastruktur yang masif. Ia menekankan bahwa KBAK adalah wilayah yang menyimpan mata air vital, dan penghancuran batuan karst akan memperparah krisis air.
JJLS juga melahirkan masalah keamanan mobilitas warga, terutama lansia. Pembangunan jalan yang melintasi halaman rumah warga dengan minim penerangan telah menyebabkan sejumlah kecelakaan, membuat banyak warga meregang nyawa karena tertabrak transportasi bermuatan besar yang membawa hasil tambang maupun kendaraan pribadi yang lewat dengan kecepatan kencang.
Warga Watukodok juga mengalami konflik agraria setelah pemerintah Provinsi Yogyakarta secara sepihak mengklaim tanah di Watukodok berstatus Sultan Ground alias Tanah Sultan. Klaim ini dimanfaatkan investor untuk menggusur warga dan memprivatisasi pantai untuk pembangunan resor.
Pemerintah Provinsi Yogyakarta melancarkan upaya licik agar warga digusur dari tanah yang telah menjadi sumber penghidupan warga selama bertahun-tahun. Paling tidak semenjak UU Keistimewaan hadir, pemerintah Provinsi Yogyakarta mulai masif mengklaim secara sepihak tanah warga merupakan Sultan Ground/Pakualaman Ground alias Tanah Sultan dan Tanah Pakualaman.
Pemerintah Provinsi Yogyakarta juga kerap menganggap tanah yang ditempati warga sebagai tanah kosong, sebuah narasi yang dinilai mengabaikan sejarah kepemilikan dan keberadaan warga. Situasi ini diperparah dengan narasi “Gunungkidul adalah The Next Bali”, yang dikhawatirkan akan membuka pintu lebar bagi investor besar untuk menguasai dan menjadikan tanah Gunungkidul sebagai komoditas bisnis yang diperjualbelikan.
Selain itu, lahan pertanian warga Karangasem juga terdampak. Petani dipaksa bergantung pada 160 ton pupuk kimia yang digelontorkan pemerintah, dibanding pupuk organik, sehingga merusak unsur hara tanah. Kolonialisasi pupuk ini membuat petani di Karangasem lebih memilih untuk menanam jagung daripada padi karena hasil panennya lebih banyak dan lebih mudah.
Dampak pembangunan juga merugikan kehidupan hewan. Populasi monyet di berbagai desa KBAK Gunungkidul meningkat drastis karena hilangnya habitat dan sumber makanan mereka akibat pembukaan lahan untuk pembangunan infrastruktur dan pariwisata.
