Ritual 1 Muharram sebagai Upaya Warga Watukodok Merawat Perjuangan

webmaster Avatar
Ritual 1 Muharram sebagai Upaya Warga Watukodok Merawat Perjuangan

Ribuan warga dari tiga padukuhan—Kelor Kidul, Kelor Lor, dan Kanigoro—memadati Pantai Watukodok pada Rabu (26/6) untuk merayakan 1 Muharram melalui ritual adat. Acara tahunan ini bukan sekadar peringatan tahun baru Jawa, melainkan strategi budaya warga mempertahankan kedaulatan atas tanah yang hendak dikuasai investor bermodal besar.

Ritual dimulai dengan sambutan dan doa bersama, diikuti wiwitan (makan massal yang menyimbolkan persatuan), nglarung (larung sesaji ke laut), pertunjukan kesenian tradisional, serta pemutaran film dokumenter garapan IVAA berjudul Festival Kathok Abang.

Menurut Tupar, seorang warga di Watukodok, ritual nglarung merupakan simbol sedekah hasil bumi ke laut, sebagai metafora perjuangan agraria. “Laut memberi hidup, kami kembalikan dengan sedekah,” ujarnya.

Sesaji buah dan pangan yang menjadi sedekah hasil bumi itu sebagian dipetik dari kebun masyarakat, sebagian lagi dibeli di pasar lokal saat musim buah-buahan tak mendukung. Hal ini mencerminkan kemandirian ekonomi warga.

Kemandirian ekonomi menjadi tulang punggung perlawanan. Tupar menyebutkan bahwa 80 persen warga kini bekerja di Watukodok sebagai upaya menekan urbanisasi di sana. “Dulu Senin pagi mereka harus ke kota mencari pekerjaan, hari ini keluar dari rumahnya ke Watukodok,” ujarnya.

Untuk pendanaan menjalankan acara, warga Watukodok menggunakan mekanisme urunan sukarela. Hal ini semakin menegaskan prinsip pengelolaan mandiri warga tanpa ketergantungan investor.

Selain itu, keterlibatan pemuda dalam putaran ekonomi di Watukodok menjadi penanda vitalitas perjuangan. Puluhan pemuda terlibat aktif dalam mengelola dokumentasi, logistik, hingga penyewaan tenda.

Pemuda di Watukodok sebagai aktor krusial, apalagi di tengah ancaman pengambilalihan wilayah yang masih mengintai. “Mereka (penerus) yang punya tanggung jawab ke depannya (merawat perlawanan),” tambah Tupar.

Keterlibatan pemuda yang meningkat signifikan tidak hanya dirasakan dalam sektor ekonomi belaka, tetapi juga upaya merawat perjuangan melalui pentas kesenian dalam acara peringatan 1 Muharram. Para pemuda Watukodok ikut serta menyiapkan konsep hingga teknis acara.

Dalam hal kesenian, terdapat pertunjukan kesenian seperti reog dan jathilan, yang seluruh alat keseniannya dimiliki warga. Hal ini mempertegas seni sebagai “alat komunikasi perlawanan” warga.

Acara ditutup melalui pemutaran film Festival Kathok Abang—dokumentasi kemenangan warga tahun 2016 melawan pemodal yang disokong Kraton Yogyakarta. Kathok Abang memiliki arti dalam Bahasa Indonesia sebagai celana berwarna merah, sebuah pakaian yang lekat dengan seragam Sekolah Dasar.

Warga Watukodok membuat Festival Kathok Abang sebagai upaya mengejek ucapkan investor kala itu. Investor itu menghina warga Watukodok untuk menurut saja tanahnya dirampas, sebab warga hanya tamatan Sekolah Dasar.

“Merawat tradisi adalah cara kami bertahan. Selama sedekah laut ada, Watukodok tetap milik rakyat.” Ujar Tupar.

Penulis: Skolastika Andika Paramita Maheswari

Editor: Vincentius Dandy Ariputra Ginola